logo

menu

Pajak Minimum Global (GMT) 2025: Apa Itu dan Bagaimana Penerapannya?

Article

24|12|2025

Pajak Minimum Global (GMT) 2025: Apa Itu dan Bagaimana Penerapannya?

Selama bertahun-tahun, banyak perusahaan multinasional memindahkan keuntungan (profit shifting) ke negara-negara dengan tarif pajak rendah untuk mengurangi beban pajak global mereka. Praktik ini dikenal sebagai “base erosion and profit shifting (BEPS)” yang menyebabkan negara-negara dengan basis ekonomi kuat kehilangan potensi penerimaan pajak besar.

Selain itu, adanya persaingan tarif pajak antarnegara (tax competition) juga mendorong beberapa negara menurunkan tarif pajak badan untuk menarik investasi asing. Akibatnya, terjadi perlombaan menurunkan tarif pajak (race to the bottom) yang justru menggerus keadilan dan stabilitas sistem pajak global.

Untuk mengatasi masalah ini, negara-negara anggota OECD dan G20 memperkenalkan inisiatif Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax/GMT) yang mulai diimplementasikan secara bertahap pada tahun 2025, termasuk oleh Indonesia.

Pajak Minimum Global bertujuan memastikan bahwa setiap perusahaan multinasional membayar pajak dengan tarif minimum yang adil, di mana pun mereka beroperasi.

Konsep dan Mekanisme Pajak Minimum Global

Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax / GMT) merupakan bagian dari proyek OECD/G20 Inclusive Framework on BEPS Pilar 2, yang mengatur tarif pajak minimum global sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan konsolidasi di atas €750 juta (sekitar Rp12 triliun).

Artinya, jika suatu perusahaan multinasional membayar pajak di negara tertentu dengan tarif di bawah 15%, maka negara asal atau negara induk perusahaan berhak memungut pajak tambahan (top-up tax) untuk mencapai batas minimum tersebut.

Mekanisme Utama GMT

Mekanisme Pajak Minimum Global didasarkan pada tiga instrumen utama:

1. Income Inclusion Rule (IIR)
Mengizinkan negara tempat perusahaan induk berada untuk mengenakan pajak tambahan atas penghasilan anak perusahaan di luar negeri yang dikenai pajak di bawah tarif minimum (15%).

2. Undertaxed Payment Rule (UTPR)
Berlaku jika negara tempat perusahaan anak berada tidak menerapkan IIR. Maka negara lain yang menjadi tempat operasi grup perusahaan dapat mengenakan pajak tambahan atas penghasilan tersebut.

3. Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT)
Merupakan pajak tambahan domestik yang memungkinkan negara tempat operasi anak perusahaan memungut sendiri selisih pajak hingga mencapai tarif 15%, agar pendapatan pajak tidak "diambil" oleh negara lain.

Dengan mekanisme ini, perusahaan multinasional tidak lagi dapat mengalihkan laba ke negara bebas pajak, karena selisih tarif akan tetap dikenakan sebagai pajak tambahan di negara asal atau negara tempat operasi.

Implementasi di Indonesia

Indonesia telah menegaskan komitmennya untuk mengadopsi Global Minimum Tax (GMT) mulai tahun 2025 sebagai bagian dari reformasi pajak internasional.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang menyiapkan aturan turunan dan penyesuaian sistem perpajakan nasional agar sejalan dengan standar OECD Pilar 2.

Beberapa langkah yang telah dilakukan antara lain:

  • Partisipasi aktif dalam Inclusive Framework on BEPS bersama lebih dari 140 negara.
  • Penyusunan regulasi teknis untuk mekanisme Qualified Domestic Minimum Top-up Tax (QDMTT) agar Indonesia dapat memungut pajak tambahan atas laba anak perusahaan multinasional di dalam negeri.
  • Koordinasi lintas lembaga antara Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Bank Indonesia dalam menyiapkan infrastruktur data dan sistem pelaporan global.

Dengan penerapan QDMTT, Indonesia diharapkan dapat mempertahankan hak pemajakan (taxing rights) atas penghasilan yang dihasilkan di wilayahnya, tanpa kehilangan potensi penerimaan pajak ke negara lain.

Dampak bagi Perusahaan Multinasional & Insentif Pajak Lokal

Penerapan Pajak Minimum Global akan memberikan dampak langsung bagi perusahaan multinasional (MNEs) yang beroperasi di Indonesia maupun di luar negeri. Dampak yang akan dirasakan adalah sebagai berikut:

1. Kewajiban Pajak Tambahan (Top-Up Tax)
Perusahaan dengan tarif efektif di bawah 15% harus membayar pajak tambahan di negara induk atau negara tempat anak perusahaan beroperasi.

2. Kenaikan Beban Administratif
MNEs perlu melakukan perhitungan tarif pajak efektif (Effective Tax Rate/ETR) global secara rinci, sesuai standar OECD.

3. Revisi Struktur Grup Usaha
Banyak grup perusahaan akan meninjau kembali lokasi entitas dan kebijakan transfer pricing untuk menghindari pajak berganda.

Dampak terhadap Kebijakan Pajak Indonesia

Sebelum adanya GMT, Indonesia sering menggunakan insentif pajak seperti tax holiday, tax allowance, dan PPh Badan super deduction* untuk menarik investasi.
Namun, dengan adanya GMT, efektivitas insentif pajak berbasis tarif menjadi berkurang, karena selisih tarif akan tetap dikenai pajak tambahan di negara asal perusahaan.

Sebagai gantinya, pemerintah mulai mempertimbangkan insentif non-tarif, seperti:

  • Kemudahan izin investasi dan ekspor,
  • Dukungan infrastruktur industri,
  • Insentif berbasis biaya (cost-based incentive) seperti super deduction R&D.

Dengan strategi baru ini, Indonesia tetap dapat bersaing menarik investasi tanpa kehilangan pendapatan pajak akibat kebijakan tarif rendah.

Tantangan & Risiko Pelaksanaan

Penerapan Global Minimum Tax bukan tanpa hambatan. Beberapa tantangan yang mungkin dihadapi Indonesia antara lain:

1. Kompleksitas Teknis

Perhitungan tarif pajak efektif global (ETR) membutuhkan sistem pelaporan yang detail dan konsisten antarnegara. Perusahaan perlu menyesuaikan sistem akuntansi internasionalnya.

2. Kesiapan Regulasi dan SDM

Diperlukan harmonisasi regulasi domestik dengan pedoman OECD, serta peningkatan kapasitas sumber daya manusia di bidang perpajakan internasional.

3. Potensi Sengketa Pajak Antarnegara

Perbedaan interpretasi aturan dan basis pengenaan pajak antar yurisdiksi dapat menimbulkan risiko double taxation atau tax dispute antar otoritas pajak.

4. Dampak Terhadap Daya Saing Investasi

Negara berkembang, termasuk Indonesia, perlu menyeimbangkan antara menjaga daya tarik investasi dan mempertahankan penerimaan pajak yang optimal.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, pemerintah perlu menyiapkan mekanisme koordinasi lintas negara, sistem pelaporan digital, serta peraturan domestik yang fleksibel dan adaptif.

Kesimpulan

Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax / GMT) merupakan langkah besar dalam menciptakan sistem perpajakan internasional yang lebih adil dan transparan.
Dengan tarif minimum 15%, GMT bertujuan mencegah praktik penghindaran pajak lintas negara oleh perusahaan multinasional.

Bagi Indonesia, penerapan GMT pada tahun 2025 menjadi peluang sekaligus tantangan: peluang untuk meningkatkan penerimaan pajak nasional, namun juga tantangan dalam menjaga daya saing investasi dan kesiapan sistem perpajakan.

Perusahaan multinasional perlu bersiap sejak dini dengan melakukan evaluasi struktur bisnis, perhitungan ETR, dan kepatuhan pelaporan pajak global.
Sementara itu, pemerintah perlu memperkuat kebijakan QDMTT dan insentif non-tarif agar implementasi GMT tidak mengurangi minat investasi asing.

Jika Anda membutuhkan pendampingan profesional untuk memahami implikasi GMT terhadap struktur pajak dan strategi perusahaan, RDN Consulting siap membantu melalui layanan konsultasi perpajakan internasional dan corporate tax planning yang sesuai dengan kebijakan global terbaru.